Friday, June 12, 2009

Merayakan Hidup (sebuah refleksi atas hidup yang telah kita jalani)

Berbicara mengenai perayaan, kita cenderung mudah membayangkan pesta-¬pesta yang gembira, menyenangkan dan meriah. Di sana kita dapat melupakan sementara waktu beban-beban hidup dan membenamkan diri dalam suasana musik, tarian, minuman, gelak tawa, dan pembicaraan ringan yang menyenangkan. Perayaan yang dimaksudkan di sini bukan yang seperti itu, mungkin kata yang dapat mewakili dan sudah biasa terdengar di telingan kita adalah syukur. Perayaan hanya mungkin kalau ada kesadaran yang mendalam bahwa kehidupan dan kematian tidak terpisah, ketakutan dan kasih, kegembiraan dan kesusahan, air mata dan senyum dapat berada bersama. Peraayaan adalah penerimaan kehidupan dalam kesadaran yang terus berkembang bahwa hidup itu benilai.

Hidup bernilai bukan hanya karena hidup dapat dilihat, disentuh, dan dirasakan tetapi juga karena hidup suatu hari akan lenyap. Ketika dilahirkan kita menjadi bebas untuk bernafas, akan tetapi kehilangan keamanan yang yang diberikan seorang ibu. Saat melayat kematian, kita merayakan persahabatan yang hilang, sekaligus kebebasan yang diperoleh. Ketika mendapatkan pekerjaan, kita tidak lagi tergantung orang lain karena memiliki penghasilan sendiri, akan tetapi kita kehilangan dorongan yang kita dapat dari guru dan kawan. Saat pensiun kita akan cukup waktu untuk melakukan sesuatu yang kita kehendaki, akan tetapi kehilangan topangan yaitu merasa dibutuhkan orang lain. Kalau dapat merayakan kehidupan pada saat-saat yang menentukan seperti itu, dimana mendapatkan dan kehilangan selalu saling terkait, sebuah pelajaran kita peroleh dan kehidupan bahwa barang siapa kehilangan nyawanya akan menemukannya.

Orang yang mampu merayakan hidupnya dapat menghindar dari godaan untuk mencari kegembiraan atau kesusahan saja. Perayaan bertentangan dengan pelarian kenyataan, perayaan merupakan penerimaan hidup seutuhnya dengan segala keruwetannya. Dari pengalaman hidup tentu akan mendapat situasi dimana kita ingin sekali mengingkari kenyataan yang kita hadapi. Terkadang terasa berat untuk mengakui sesuatu yang tidak kita inginkan, pembenaran diri dengan segala macam bentukya kita lakukan untuk menutupi dan menyembunyikan. Tidak kita sadari pula munculnya suatu bentuk sikap pelarian. Ada tiga unsur penerimaan, yaitu: mengakui, mengenang dan mengharapkan.

Untuk merayakan hidup, dituntut lebih dahulu mengakui sepenuhnya keadaan. Kita berkata dengan kesadaran penuh: inilah kita, ada di sini, di saat kini. Kita hanya dapat merayakan apabila ada sesuatu hadir untuk dirayakan. Ketika napas dibanjiri dengan berbagai pikiran dan gagasan yang menjauhkan diri dari keberadaan kita, muncullah pekerjaan yang belum selesai, rencana untuk besok hari, situasi keluarga, dan hal-hal lain. Di sana akan banyak beribu-ribu pertanyaan muncul dan tidak didapat jawabnya, tentu keadaan ini membuat ketidakhadiran di tempat kita berada.

Walaupun secara fisik sudah hadir, namun hati dan pikiran berada pada suatu tempat yang tidak dapat dijangkau oleh orang lain dan sulit untuk diri sendiri. Kalau sedikit demi sedikit dan dengan teliti dapat menyingkirkan semua pengacau, kita akan mulai tersadar akan sesuatu yang selama ini telah menunggu untuk disadari, yaitu kita sungguh hadir pada diri kita sendiri. Dalam waktu yang sama pula akan kita sadari kehadiran orang lain yang ada bersama kita. Doa bersama akan berarti bahwa kita hadir satu bagi yang lain, tujuannya bukan hanya pemecahan atau pertolongan tetapi menjadi sebuah usaha untuk tampil dan siap digunakan satu sama lian, saling meneguhkan dengan berbagai macam cara masing-masing pribadi menghayati hidup.

Seseorang yang tidak memiliki masa lampau, ia tidak dapat merayakan masa kini dan tidak menerima hidup sebagai miliknya sendiri. Cara orang berhubungan dengan masa lampaunya sendiri menjadi sangat penting bagi pengalaman hidup. Masa lampau dapat menjadi penjara yang mengurung selama-lamanya, merasa malu, dikejar-kejar rasa salah; atau sebuah alasan untuk memuji diri, kesombongan dan rasa puas diri. Ada orang yang berkata dengan sesal, "seandainya waktu dapat kembali, tentu akan kuhidupi dengan cara yang lain"; orang lainnya dengan penuh keyakinan berkata, "mungkin Anda akan berkata kalau saya tua dan lemah, namun lihatlah banyaknya piala yang saya dapatkan".

Orang yang merayakan kehidupannya tidak menjadikan masa lalu menjadi sebuah penjara atau kesombongan, akan tetapi menghadapi kenyataan sejarah dan sepenuhnya menerima sebagai unsur yang memungkinkan untuk menyatakan bahwa hal itu adalah pengalaman pribadi. Saat mengenang orang-orang yang telah mendahului (meninggal), kita akan menyadari telah ditangah-tengah sejarah dan mengakui telah dibawa ke tempat sekarang, berada diantara mereka yang telah menghayati hidup.

Seandainya masa lampau adalah kata terakhir, semakin tua ia akan memenjarakan diri. Apabila masa kini adalah saat yang terakhir untuk mendapatkan kepuasan, orang akan mencengkeram dengan nafsu yang besar dan mencoba untuk memeras sampai tetes yang terakhir kehidupan ini. Akan tetapi masa kini memberikan janji dan membentang di hadapan kita, memungkinkan kita untuk marangkul masa depan seperti halnya masa lampau.

Perayaan diartikan sebagai pengakuan atas masa kini, dengan mengenang masa lampau dan mengharapkan lebih lagi akan masa depan. Namun kenyataannya hal ini sulit, jarang terjadi, masa kini lebih sering ditolak daripada diterima. Ketika Yesus meninggalkan murid-Nya, Ia memberikan roti dan anggur sebagi kenangan akan apa yang pernah dilakukan sehingga la dapat terus hadir. Kita mengenang peristiwa itu, menaruh harapan kepada-Nya.

Merayakan adalah sebuah tantangan yang paling sulit, yang harus dihadapi oleh orang modern. Orang modern tidak sekedar makan dan minum, tetapi mengenal makan siang untuk keperluan usaha bisnisnya atau makan malam untuk menyelesaikan urusan-urusan, dan ia selalu berpikir hal yang akan terjadi besok. Masa lampau menjadi suatu kesempatan yang sudah digunakan atau yang tidak digunakan, masa kini menjadi hal kekuatiran mengenai masa depan yang selalu menjadi dambaan. Kebudayaan kita adalah kerja, tergesa-gesa, kuatir, dengan berbagai macam kesempatan. Kita hanya bagian yang sangat kecil sejarah dan hanya memiliki hidup yang pendek. Akan tetapi kalau kita membawa buah karya di tangan dan mempersembahkan kepada Allah dengan keyakinan yang mendalam, bahwa Dia mendengarkan dan menerima persembahan kita, hidup menjadi sebuah anugerah untuk dirayakan.

No comments:

Post a Comment