Friday, March 13, 2009

Mencari Pemimpin yang Sebenarnya


Find and See

Pelikan adalah burung penangkap ikan yang ulung. Tapi di kota Monterey, California hal ini tidak terjadi. Di sana tidak perlu bersusah mendapat makanan, ikan-ikan berserakan karena banyak pabrik pengalengan ikan. Tetapi hal menakutkan terjadi tatkala ikan mulai habis dan pabrik tutup. Karena terlalu lama burung itu tidak menangkap ikan, mereka menjadi gemuk dan malas, ikan sulit didapat, sehingga satu persatu mereka mati. Berbagai kelompok pecinta alam berusaha menyelamatkan, hingga suatu saat terpikirkan untuk mengimport burung pelikan dari daerah lain. Hasilnya luar biasa. Pelikan baru segera berburu ikan dengan giat, dan perlahan pelikan yang kelaparan tergerak berburu ikan juga. Dan akhirnya semua pilikan di sana kembali hidup dengan berburu.

Les Giblin, pakar hubungan manusia menjelaskan bahwa manusia belajar sesuatu dari panca inderanya; 1% dari rasa, 1,5% dari sentuhan, 3,5 dari penciuman, 11% dari pendengaran, dan 83% dari penglihatan. John C Maxwel, pakar kepemimpinan membuktikan bahwa, seseorang dapat memimpin dari: 5% akibat krisis, 10% karunia alami, dan 85% karena pengaruh dari pemimpin mereka.


Bekal dan Wawasan Pemimpin

Kepemimpinan di tingkat manapun, dari tingkat yang paling rendah sampai sampai pada tingkat yang paling tinggi, mempengaruhi kita dalam bersikap, kinerja, dan produktifitas. Sebelum menjabat sebagai pimpinan, bekalnya berbeda-beda. Ada pemimpin yang tidak mempunyai bekal apa-apa, sedikit, lumayan, dan ada yang memang mempunyai bekal cukup. Sebelum menjabat, seharusnya ia sudah mengikuti seorang pemimpin dan terlibat dalam kepemimpinannya. Ia telah dididik dan dilatih dalam hal kepemimpinan. Ia beminat dan mendisiplinkan diri untuk bersiap menjadi pemimpin. Dan menurut pengamatan orang serta pengalaman pribadi, ia memiliki bakat di bidang kepemimpinan. Seberapapun bekalnya, hal itu mempengaruhi pelaksanaan kepemimpinannya dan pada gilirannya mempengaruhi prestasi semua orang yang dipimpinnya.

Berdasarkan wawasannya, ada 4 macam pemimpin. pemimpin yang tidak berwawasan ke masa depan menjalankan tugas-tugasnya berdasarkan tradisi dan kebiasaan yang berlaku dalam lembaga. Jika ada hal dan tantangan baru, ia spontan menolak atau menganggapnya tidak ada. Ada pula pemimpin berwawasan tetapi tidak berbuat sesuatu mewujudkannya karena malas, tidak mau pekerjaannya tambah, takut resiko, atau terjerat kemapanan dan rasa aman dalam pola kerja lama. Bagi pemimpin yang memiliki wawasan dan berbuat untuk mewujudkan, ia terus membayangkan, bermimpi masa depan, dan berusaha menyusun strategi pelaksanaannya, tetapi tidak mengikutsertakan bawahan/rakyat. Sebagai bawahan/rakyat tentunya ragu, dan penuh tanya akan apa yang dikerjakan. Pemimpin yang berwawasan dan berbuat bersama bawahan selalu membagi wawasannya kepada bawahan, meyusun rencana dan strategi, dan mengambil langkah-langkah guna mewujudkan bersama bawahan. Konsekuensinya sebagai bawahan mendapat tugas dan tanggung jawab lebih karena harus ikut terlibat secara aktif.


Sifat-Sifat Pemimpin

Sifat-sifat Pemimpin juga berpengaruh pada prestasi oarang yang dipimpinnya. Pertama, sifat mau belajar dan mempengaruhi diri terus menerus penting bagi pemimpin karena dengan demikian seorang pemimpin akan tetap up to date dan mampu menanggapi tantangan kerja yang terus berubah dan berkembang. Kedua, hidup dan kerja yang diorientasikan pada pelayanan. Bagi pemimpin yang berorientasi pada hidup dan kerja yang baik, uang tidak dijadikan tujuan utama dalam bekerja. Jika uang yang dijadikan tujuan utama, maka pelayanan berupa produk dan jasa dapat dikesampingkan. Kata orang bijak untuk membuat orang lain memiliki sikap hormat dan respek yang tulus bukan diperlukan tongkat, tapi kasih; bukan sikap otoriter, tapi sikap melayani; bukan dengan ancaman tapi teladan.

Ketiga, gaya hidup seimbang. Hal ini berarti memadukan secara proporsional unsur-unsur fisik, emosional, mental serta spiritual, dan secara seimbang mengembangkannya. Pemimpin yang seperti ini tidak bersikap ekstrim dalam menghadapi masalah, dan tidak memihak dalam memutuskan masalah. Keempat, mempercayai bawahan. Dengan mempercayai kita, pemimpin tentunya dapat bekerja sama dengan kita, dan bersama membentuk sinergi mencapai tujuan. Kelima, pandangan terhadap makna hidup. Makna hidup menjadi kunci dalam hidup dan perilakunya. Pemimpin yang beridealisme akan memandang hidup sebagai medan untuk berkembang dan berjasa, sedangkan yang tidak akan memandang hidup sebagai medan untuk mendapatkan hal-hal guna memuaskan diri dan memenuhi kebutuhannya sendiri.


Tingkat dan Lingkup Kepemimpinan

Tingkat kepemimpinan adalah level atau tangga pijakan pada waktu menjalankan kepemimpinan. Pemimpin yang berorientasi pada kedudukan (status leadership) mendasarkan kepemimpinannya pada status atau kedudukannya sebagai pemimpin. Yang menjadikan pegangan kerja adalah jabatan, lingkup hak dan wewenang, protokol, tradisi, kebiasaan, dan tatanan lembaga. Pemimpin tingkat ini, dalam melaksanakan kepemimpinan, suka menggunakan kekuasaan dan tak jarang menggunakan intimidasi ancaman, dan kekerasan. Banyak diantara mereka elergi terhadap kritik dan sulit bekerja sama dengan bawahan/rakyat yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Model komunikasi satu arah, bentuknya berupa pengarahan, instruksi dan perintah. Kepemimpinan yang berorientasi pada relasi (human relation leadership) kuncinya adalah hubungan dengan orang yang ia pimpin. Dengan menjaga dan mengembangkan hubungan baik dengan orang-orang yang ia pimpin, ia mampu melaksanakan kepemimpinannya secara efektif dan tahan lama. Kecenderungan pemimpin seperti ini adalah melupakan tugas, urusan, dan tujuan lembaga sebab yang menjadi kesibukannya adalah membina hubungan baik dan mencegah konflik.

Kepemimpinan yang berorientasi pada produksi (produktion leadership), pusat perhatian pemimpin tingkat ini adalah kinerja, produk, dan pencapaian hasil kerja yang dicapai, yang menjadi sasaran adalah lembaga. Bawahan berhubungan bukan hanya untuk sekedar berbaik-baik satu sama lain, tetapi bekerja sama mencapai tujuan bersama, maka terciptalah semangat kerja pada kita (dikalangan bawahan). Kepemimpinan berorientasi pengembangan SDM (human reource developer leadership) berhasil menjalin hubungan baik dengan bawahan dan mampu membawa kita (bawahan) mencapai tujuan lembaga sekaligus mengembangkan SDM. Berkat perlakuan atasan yang seperti ini, bawahan akan merasa dihargai, dipercaya, dan ditantang. Keempat tingkatan ini terdapat pada pemimpin kita.

Lingkup kepemimpinan merupakan hal-hal yang menjadi bagian dan tugas pemimpin. Hal ini meliputi bidang pribadi, antar pribadi, manajerial, dan organisasional. Pemimpin bukanlah posisi, malainkan pelayanan, untuk berhasil dalam tugas kepemimpinan, ia perlu menguasai bidang-bidang kepemimpinan sehingga kita sebagai bawahan/rakyat percaya kepada kemampuan kepemimpinannya, dan akhirnya kita juga terdorong untuk mengikuti pengarahan dan petunjuknya. Karena berada di depan dan berjalan di muka, atasan seharusnya menjadi panutan yang dapat dianut dan diteladani dalam perilaku dan pola kerjanya.

Seorang pemimpin juga diharapkan memiliki kredibilitas yang ditampakkan dalam tindakan. Jika pemimpin memiliki kredibilitas, kita (bawahan/rakyat) tentunya akan merasa memiliki dan terlibat (communited) terhadap lembaga/negara, memiliki semangat, dan loyal. Apabila pemimpin tidak memiliki kredibilitas, kita akan berkerja dengan motifasi rendah. Sikap akan mendua, dimuka umum memuji, tetapi dalam hati tidak bangga sama-sekali dan bahkan menyimpan kekecewaan.


Darma Pemimpin

Pujangga R. Ng. Ranggawarsita, seorang pujangga ternama dari zaman Surakarta abad ke-19 mengungkapkan ada 8 darma pemimpin. Anguripi (memberi hidup) berarti menghormati dan menjaga kehidupan sesuai hukumnya. Menciptakan semua berkembang lahir batin secara bebas dan selaras, menghayati makna hidup, saling menghargai, dan menjaga hidup bersama. Angrungkepi (medekap dengan tengkurap) dimaknai menguasai, mengamankan, membela dengan segenap daya. Seorang pemimpin sekurang-kurangnya punya wibawa untuk menghimpun, dan membangun suatu sistem yang kuat dan kompak, disiplin dan bersahaja, serta mampu mengendalikannya. Angruwat (menghindarkan malapetaka) yaitu menggalang upaya mengatasi keadaan buruk. Secara lahiriah melaksanakan upaya nyata yang bertahap dan berkesinambungan dalam kerjasama dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Secara spiritual diadakan doa dan permohonan agar Allah menyucikan dan memberkati.

Anata (menata), yaitu menjabarkan peraturan menjadi tatanan dalam berbagai bidang yang berlaku adil, dan benar bagi semua. Menata dan membangun tempat berkarya secara benar, disiplin, jujur, terencana, dan bertahap bagi semua. Menghantar warga hidup sehat dan teratur dengan teladan tulus dan nyata. Amengkoni (mengikatkan), yaitu menampung dan menyatukan segenap warga supaya tidak tercerai berai dan tercecer. Menjaga otonomi dan kedaulatan dengan tetap menjalin persahabatan dan kerjasama dengan semua pihak luar. Angayomi (teduh), yaitu menciptakan rasa aman dan kerasan dalam hidup, belajar dan berkarya, usaha maupun saat istirahat untuk mawas diri dan menimba kehidupan iman. Angurubi (membuat menyala, hangat dan terang), yaitu menghidupkan sikap-tindak yang adil dan benar, jujur dan rapi, sehingga mengikis watak angkara dan perilaku serampangan. Menghangatkan kegairahan hidup, belajar, berkarya, berprestasi, dan berjasa bagi semua. Amemayu (mempercantik), yaitu menjaga harmoni, memperindah, memperluas dan mempertinggi alam dan segala kehidupannya, semua berkesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal.

Sungguh tinggi dan tinggi memang darma itu, namun itulah idealnya seorang pemimpin. Tentu pemimpin yang dimaksudkan tidak atasan kita saja, karena di tingkat dan lingkungan manapun kita semua menjadi pemimpin sekaligus menjadi bawahan.


(tulisanku ini aku persembahkan untuk bangsa dan negaraku yang akan menyambut PEMILU wakil rakyat dan Presiden)

Wednesday, March 11, 2009

Sekolah Bangunan Mewah

Dengan adanya perubahan kebijakan di tingkat nasional maupun daerah tentu banyak mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Sebagai contoh mengenai alokasi anggaran pendidikan yang mengarah pada pencapaian 20% APBN. Secara fifik dan non fisik sekolah tentunya mendapat dampaknya. Pembenahan fisik yang berlebihan tanpa melihat pengembangan kualitas pembelajaran tentunya akan melemahkan usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita diantara bangsa-bangsa lain di dunia. Meskipun para ahli memasukkan pendidikan sebagai kebutuhan pokok, namun rupanya kebutuhan ini tidak selalu mudah didapatkan.

Sekolah dalam arti pertama adalah, sebuah bangunan yang dibuat entah dari tembok, kayu, kaca, dan besi (house). Dinamakan sekolah berdasarkan penggunaan dan para penghuninya sebagai tempat belajar siswa. Dalam bangunan itu siswa dann guru berlindung dari panas dan hujan. Rupanya aspek ini yang cukup dominan dalam pembangunan sekolah modern, sampai-sampai setiap sekolah dilengkapi dengan fasilitas kipas angin-AC, lantai keramik, pagar tinggi dengan pintu gerbang dan bahkan memiliki satpam.

Sekolah dalam arti kedua lebih pada suatu suasana yang semestinya terbentuk dalam sebuah bangunan tempat orang hidup dan tinggal (home). Ia dibangun oleh cita-cita pendidikan, di atas dasar Pancasila dan UUD1945, untuk semua orang, untuk seluruh penghuninya, atau bahkan untuk tamu yang singgah sebentar. Ia bisa tampak dalam kerukunan, persaudaraan, hormat, pengertian kebersamaan, pelayanan, penghargaan, persahabatan, kejujuran, dll. Sekolah yang ini jika terbentuk dari kehendak yang iklas akan menjadi kuat sekali, lebih kuat dari rumah beton. Tak akan berkarat, atau keropos oleh musim, tak akan roboh oleh bencana, dan tak kan dapat digusur oleh aparat. Ia akan mengikat para penghuninya dan siapapun yang pernah merasannya dengan ikatan tali-tali misterius, tidak tampak namun ada.

Sekolah seharusnya menarik semua orang yang pernah mengalami untuk mengalaminya kembali. Atau paling tidak mengenangnya sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan. Dalam sekolah seperti itulah setiap orang berkembang menjadi manusia utuh. Hanya sayangnya, di zaman modern ini, ketika kemajuan ilmu dan teknologi memberi peluang yang besar untuk membangun sekolah (house) yang megah, kokoh, sekolah kita yang kedua ini (home) malah makin sulit dibangun. Sekarang ini sudah tidak asing lagi dengan kegiatan open house, istilah ini lebih populer karena memang sekolah secara fisiklah yang lebih mudah dipamerkan kepada masyarakat pada umunya. Sekolah sering kali dirasakan sekedar tempat, namun ia menjadi kwajiban atau rutinitas belaka. Pembelajaran berkualitas melibatkan aspek afektif dalam prosesnya akan membuahkan hasil yang optimal. Bila hal itu tidak ditinggalkan, pastilah bangsa Indonesia tidak korup dan menjadi manusia berkwalitas dengan budi pekerti yang mulia. Maju terus pendidikan Indonesia.

Friday, March 6, 2009

Pilihan Hidup


Orang-orang yang berhasil dalam hidupnya keseharian menumbuhkan kebiasaan untuk mencapai apa yang diinginkan. Kebiasaan adalah pola perilaku yang terdiri dari tiga komponen yang meliputi: pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Kebiasaan merupakan hasil proses belajar, bukan bawaan yang diturunkan. Kita tidak perlu menjadi korban dari keadaan sekitar atau latar belakang pendidikan kita. Sebagai manusia, kita bertanggung jawab atas hidup kita sendiri.

Manusia memiliki kesadaran diri, imajinasi, suara hati, dan kehendak bebas. Tingkah laku merupakan hasil dari keputusan pribadinya. Kita harus bergerak dengan nilai-nilai yang sudah kita pikirkan secara cermat, seleksi, dan hayati. Untuk menjadi manusia bermutu perlu: mengenal, menerima, mengampuni, menjadi, menguasai, menghargai, mengembangkan diri, dan membagi diri sendiri bagi sesama.

Penghalang perkembangan mutu hidup adalah: egoisme, kesombongan diri ( menganggap diri paling benar), kepicikan budi (menilai diri paling baik), dan kekerdilan hati yang mengurung diri. (harga diri rendah, melihat diri serba negatif, tidak menerima apa adanya, risau mengenai penilaian orang terhadap dirinya, mencari pengakuan dan penerimaan orang lain, serta ketakutan). Bagaimana kita akan menyikapi penghalang-penghalang itu?

Banyak kesulitan kita yang sebenarnya buatan kita sendiri, walaupun mungkin kita sulit menerimanya. Kita menghadapkan diri dengan kesulitan yang potensial dengan memilih untuk berada di suatu tempat tertentu, dan kalu akibatnya kita mendapat kesulitan, kemudian kita dipenuhi dengan rasa belas kasihan kepada diri sendiri. Itu semua bisa dihindarkan kalau kita membuat pilihan yang berbeda. Apa pilihan hidup anda sekarang?

Wednesday, March 4, 2009

Ruang Belajar di hati kita


Di tengah-tengah jaman yang modern dan dengan berbagai kesibukan yang menyertainya, terkadang kita sering mengatakan belajar itu mudah. Tapi belum tentu kita dapat belajar dari kesalahan. Dalam belajar tentu hal yang biasa kalau melakukan kesalahan, tapi kadang kita sulit membetulkan, bahkan hanya untuk menerima kesalahan itu saja. Dalam bangku-bangku belajar kita sering kosong, kita sebagai orang yang belajar tidak berada di tempat, atau tidak mau masuk untuk belajar memperbaiki. Apakah kita mau masuk ke tempat belajar di ruang hati kita sendiri? apakah Sudah siap hati kita untuk mengisi kekosongan ruang kehidupan kita?

Memerbaiki Mutu Hidup


Ketika aku melakukan perjalanan wisata menaiki lorong candi di Borobudur terlihat di samping kiri kanan relief-relief yang menggambarkan kehidupan kita. Pada tiap tingkatan itu terukir gambaran tingkah laku manusia. Saat itu aku berhenti, aku merasa tempat itu bukan tumpukan batu semata. bila hidupku digambar barang kali tidak sampai pada tataran atas. Aku merasa tempat ini (candi borobudur) bukan hanya milik agama tertentu, dan setiap orang dapat belajar refleksi diri. sampai pada tingkat mana mutu hidup kita?

Menjadi Pekerja Profesional


Mengapa Anda Bekerja?

Apabila seseorang sudah selesai belajar, tentu apa yang dicari adalah pekerjaan. Pada situasi seperti sekarang ini, sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai keinginan. Tidak semua orang memperolehnya, namun kita telah mendapatkannya. Di lembaga tempat kita bekerja (Yayasan Pangudi Luhur), kita diharuskan untuk menerima pekerjaan dengan syarat-syarat yang sudah ditetapkan, dengan begitu kita menjadi guru, pekerja, atau karyawan. Menjadi pekerja berarti menjual tanaga, kemampuan, dan kecakapan kepada “pemilik” lembaga.

Ada banyak alasan mengapa kita bekerja, diantaranya untuk mengisi waktu, mendapatkan kemandirian ekonomis, memperoleh sumber nafkah keluarga, atau membangun identitas diri. Selain itu kita bekerja karena ingin berhubungan, bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain, mengembangkan potensi dan mengaktualisasi diri, dan sarana untuk mewujudkan cita-cita hidup. Mungkin satu atau beberapa hal itu dapat menjadikan alasan mengapa kita bekerja. Tentu saja dari motifasi dan dasar kita bekerja itu akan memberikan pengaruh berbeda pada pekejaan yang kita lakukan.

Siapa yang Profesional?

Pada awalnya profesi hanya dipergunakan untuk pekerjaan kemanusiaan dan untuk mendapatkannya, orang harus mendapatkan ijin dan mengucapkan sumpah jabatan, seperti dokter, ahli hukum, psikiater dan pastor. Namun sekarang ini, kata profesi dipergunakan untuk menyebut hampir semua jenis pekerjaan yang menjadi sumber nafkah, misalnya salesman, sekertaris, pemain sepak bola, bahkan pemulung. Profesional adalah orang yang menjalani profesi tertentu sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.

Untuk menjaga mutu pelayanan, pekerja profesional terus menerus berusaha membuat pengetahuan mengenai bidang dan keahlian dalam menjalankan profesinya harus tetap up to date sehingga tidak ketinggalan zaman. Pekerja profesional adalah pekerja yang berjanji untuk memberi pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Ia cakap dalam bekerja, mempunyai komitmen pada tugas yang diembannya, credibel (dapat dipercaya), dan memiliki human relation skill (mampu bekerjasama dengan orang lain dalam koordinasi yang mantap).

Berperan

Menjadi pekerja disuatu lembaga kerja berarti masuk kedalam organisasi kerja, lengkap dengan struktur oraganisasi, staf pimpinan, pekerja, serta segala macam tugas dan pekerjaannya. Kita berada di dalamnya. Peran merupakan seperangkat pola perilaku yang diharapkan dari orang yang menduduki posisi atau kedudukan tertentu pada unit sosialnya. Tujuan peran sebagai pekerja adalah menjadi pekerja yang dipercaya pribadinya, dan diandalkan kerjanya. Kita dipercaya apabila menunjukkan integritas dan berkarakter, akan diandalkan jika mampu menunjukkan kemampuan dan kecakapan kerja, konsekuen, setia kawan dengan rekan kerja, dan loyal terhadap lembaga. Ini dapat menjadi bahan permenungan kita bersama tentunya. Sejauh mana kita sudah berperan?

Tujuan peran sebagai pekerja dapat dicapai melalui kegiatan sehari-hari. Dengan melaksanakan peran kita sebagai pekerja di lembaga tempat kita bekerja, kita diharapkan dapat menunjukkan kinerja (performance) yang baik, memperlihatkan pencapaian kerja (accomplishment), mendatangkan prestasi kerja (achievement) yang bagus, dan dengan sendirinya mendapatkan tempat dan martabat yang baik (prestige) di dalam dan di luar tempat kerja. Status dan jabatan bukan hal utama dari sebuah peran yang benar.

Penghambat Kemajuan

Sebagian besar dari kita adalah manusia-manusia yang normal. Artinya, kita dianugerahi kesehatan fisik dan mental yang baik, pendidikan, daya, kemampuan, dan keyakinan hidup (iman). Tetapi, kita sering bertanya mengapa kita seolah-olah tidak dapat membuat banyak kemajuan, bahkan hanya berjalan ditempat. Penghambat yang pertama adalah selera. Karena selera, kita terus menerus mengalami rasa senang atau susah, bergairah atau loyo, tenang atau resah, mantap atau ragu-ragu. Selera juga menciptakan mood (perasaan hati) yang gampang berubah setiap saat. Kita yang hidup berdasarkan selera cenderung labil dan mudah goyah.

Kedua nafsu, yaitu dorongan kuat untuk memenuhi kebutuhan dengan selera. Karena nafsu, kita langsung berbuat untuk memenuhinya tanpa menggunakan otak dan naruni. Nafsu berkaitan dengan semua kebutuhan, fisik, kemanan, sosial, harga, dan pengembangan diri. Bagi kita yang termakan oleh nafsu, seluruh perhatian akan terpusat pada hal-hal yang dapat memenuhi nafsu. Ketiga kesombongan, yaitu tindakan meninggikan diri tanpa dasar kenyataan. Orang yang memiliki kesombongan akan selalu merasa diri lebih tinggi dari yang lain. Walaupun tidak kita sadari, namun akan muncul bentuk-bentuk pamer, bergaya mewah, berkata bisa ini-itu, dan berambisi muluk-muluk. Karena itu, kita tidak dapat membuat kemajuan dalam hidup sebab hidup kita tidak berdasarkan kenyataan dan realitas.

Keempat kepalsuan, yaitu tindakan mengganti kenyataan seperti halnya orang yang mengenakan topeng. Kita akan selalu berpura-pura, bersandiwara, dan berbuat sedemikian rupa menciptakan kesan pada orang lain. Kita akan menjadi sibuk membuat rekayasa, mengada-ada, berdalih dan memanipulasi. Kelima terbius mimpi, yaitu terlalu meletakkan harapan akan keberhasilan dimasa mendatang. Kita sering terpukau oleh masa depan, sehingga melupakan masa kini dan masa lalu, memenuhi otak dengan gambaran yang indah-indah, namun akhirnya kita sadari bahwa kita kurang berbuat sesuatu guna meraihnya. Keenam ambisi, yaitu menginginkan sesuatu melebihi kemampuan. Kita sering ingin mencapai hal yang tinggi tanpa melihat modal dan kemampuan yang ada pada diri kita. Ambisi kita ini biasanya terbatas pada keinginan dan cita-cita pribadi.

Pendorong Kemajuan

Di samping miliki penghambat, namun kita juga memiliki kekuatan pendorong. Pertama, mampu mengatasi masalah. Di tempat kita bekerja, tentunya kita tidak bisa luput dari masalah, entah karena diri kita sendiri, rekan kerja, hubungan dengan rekan kerja, atasan, atau masyarakat. Dari pengalaman yang ada tidak selalu konflik berakibat buruk, akan menghasilkan sesuatu yang baik bila ditemukan solusi yang tepat. Kenyataan dapat menjadi masalah karena ia ada di luar kemampuan kita untuk mengatasi, sedangkan masalah adalah hal yang menghadang kita dalam mencapai keinginan, tujuan, dan sasaran tetapi kita dapat berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Masalah dapat berupa uang, barang, hal, keadaan, perkara, urusan, kejadian, dan hal lain yang mengganggu hidup kita. Dan karena tergantung pada masing-masing untuk mengatasinya, masalah bersifat subjektif sehingga memunculkan masalah bayangan dan masalah nyata. Menghadapi kenyataan yang tidak mampu kita atasi, kita harus berusaha untuk menerimanya.

Kedua, mampu mengolah kegagalan. Kita tidak akan luput dari kesalahan, karena kita bukan manusia sempurana, kita tidak dapat mengingat segala hal yang seharusnya kita lakukan, kita tidak mampu mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi kerja, karena ada faktor di luar diri kita. Kegagalan dapat membuat kita sedikit belajar menjadi teliti, cermat, dan sedikit bijak.

Ketiga keseimbangan batin. Menjaga keseimbangan batin bukan hanya untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian hidup, melainkan juga agar mampu berfungsi sebagai pekerja. Keseimbangan hidup membuat kita tidak kehilangan arah saat mengalami tekanan, membuat kita berpegang pada prinsip di tengah cobaan dan godaan, dan menjadikan tetap jernih dalam berbagai persoalan yang selalu berusaha menghimpit.

Tren Dunia Kerja

Sekarang ini dalam dunia kerja terjadi pergeseran dari pengelolaan pekerja gaya lama mejadi gaya baru. Pertama, jaminan pekerja.Dalam pengelolaan pekerja gaya lama lembaga menanggung hampir seluruh jaminan pekerja, namun pada pengelolaan gaya baru pengelola hanya menaggung beberapa jaminan, misalnya kesehatan dan pensiun. Pekerja diminta mengurus sendiri jaminan-jaminan yang lain, sehingga gaji pekerja tidak begitu banyak dipotong iuran jaminan.

Kedua, pengembangan pekerja. Dalam pengelolaan pekerja gaya lama, lembaga mengambil tanggung jawab penuh atas seluruh pengembangan karier pekerja. Lembaga menempatkan pekerja disuatu bagian kerja, mengatur dan mengarahkan karier dan kerjanya. Dalam pengelolaan gaya baru, seluruh pengembangan pekerja diserahkan kepada masing-masing pekerja. Pekerja dipersilahkan sendiri untuk mencari dan memenuhi syarat-syarat kepribadian, kemampuan, kecakapan, dan ijazah yang dituntut. Contohnya adalah kebijakan YPL kepada para guru yang belum bergelar sarjana. Kepada pekerja yang berhasil, lembaga akan memberikan tugas yang lebih sesuai.

Ketiga, sistem kerja. Dalam pengelolaan gaya lama, pada umumnya pekerja hanya menjadi pekerja individual atau menjadi petugas perorangan. Dalam gaya pengelolaan gaya baru, pekerja bekerja pada sebuah tim kerja. Dengan demikian, pekerja tidak cukup hanya menjadi pekerja perorangan yang baik, tetapi juga harus mampu bekerja dalam tim dan berperan sebagai anggota tim kerja yang baik, pekerja yang mampu dan bersedia bekerja sama dengan rekan-rekan kerjanya. Namun tentu saja hal ini dalam penerapannya memerlukan usaha tidak gampang.

Keempat, perubahan kerja. Pekerjaan dalam pengelolan pekerja gaya lama lebih kurang sama dan dapat diramalkan. Pada pengelolaan baru, pekerjaan disesuaikan dengan pasar dan kebutuhan konsumen. Maka, perubahan orientasi dan target kerja, peniadaan dan penciptaan pekerjaan hal biasa, mutasi, promosi, pengeluran, dan pemasukan tenaga dapat terjadi kapan saja. Karena itu, pekerjaan dan karier pekerja dapat berganti dan sulit untuk diramalkan.