Thursday, May 7, 2009

MENGHITUNG HARI ( Sebuah Refleksi Ulang Tuhun )

5 Bola Kehidupan

Hidup dapat dibayangkan sebagai suatu permainan ketangkasan dimana kita harus memainkan keseimbangan 5 buah bola yang dilempar ke udara. Bola-bola tersebut bernama: pekerjaan, keluarga, kesehatan, teman, dan spirit. Tugas kita adalah harus menjaga agar ke-5 bola ini seimbang di udara. Pekerjaan hanyalah sebuah bola karet. Jika kita menjatuhkannya, maka ia akan dapat memantul kembali. Tetapi empat bola yang lain: keluarga, kesehatan, teman, dan spirit tersebut terbuat dari gelas. Dan jika kita menjatuhkan salah satunya maka ia akan terluka, tergores, pecah, atau bahkan hancur berkeping-keping. Dan mereka juga tidak akan kembali. Bagaimana menyeimbangkannya, membuat semua bola tidak jatuh ?

Untuk apa sebenarnya kita bekerja dengan bangun pagi, dan tidur larut malam? Untuk diri kita sendiri, keluarga, komunitas, atau masyarakat? Seringkali terlalu giat bekerja membuat lupa istirahat. Orang justru merasa sepi dan kosong tak berarti oleh karenanya. Mungkin kita seringkali berpikir bahwa karena kita punya banyak pekerjaan dan urusan, lalu hidup bersama menjadi kurang berarti. Yang muncul akhirnya adalah: selesaikan tugas dan urusan masing-masing, dan jangan mengganggu urusanku, karena aku juga tidak mengganggu urusanmu.

Hidup kita menjadi rapuh karena kita sibuk membandingkan nilai kita dengan membandingkan nilai orang lain. Tujuan dan sasaran kita didasarkan apa yang orang lain anggap itu penting. Sesuatu yang dekat di hati dianggap remeh, dijauhkan, walaupun itu bagian yang membuat kita hidup. Nilai hidup kadang kala hilang sehingga banyak hal menggerogoti jiwa kita. Membiarkan hidup terpuruk dengan hidup di “masa lampau” atau dalam mimpi masa depan. Menyerah ketika masih ada sesuatu yang dapat kita berikan. Takut mengakui bahwa kita tidak sempurna. Takut menghadapi resiko. Menutup hati dengan cinta yang masuk dalam hidup kita. Berlari, meskipun hidup tampak sangat cepat, sehingga kita lupa dimana kita berasal dan sedang menuju kemana. Lupa, kebutuhan emosi terbesar dari seseorang adalah kebutuhan untuk merasa dihargai, yang itu kita dapat dari orang-orang didekat hidup kita.

Setiap manusia di dunia ini mengalami siklus kehidupan yaitu lahir, menjalani hidup dan akhirnya mati. Setiap orang yang mengalami kehidupan di dalam dunia terjadi bukan karena kehendaknya sendiri melainkan kehendak Tuhan. Pemazmur mengatakan bahwa hidup seperti rumput, sebentar kering dan mati. Ada pula pepatah jawa mengungkapkan “ urip iku mung mampir ngombe ”, hidup itu hanya singah untuk minum. Siapa yang tahu para wisatawan yang sedang bergembira menikmati keindahan alam akan tekena bom, atau siapa yang tahu rumah akan roboh dan rata dengan tanah karena gempa bumi.


Panjang Umur Seperti Pohon Pinus

Awal tahun selalu menyisakan sebuah pertanyaan: akankah kita dapat menyambut dan merayakan awal tahun yang akan datang seperti sekarang? Benar bahwa hidup di dunia ini penuh ketidakpastian. Apa yang ada pada sekarang, keluarga, pekerjaan, kesehatan, harta-benda, bahkan nyawa kita bisa hilang dari kita diwaktu yang kita tidak tahu. Dan makin banyak orang menilai hal yang paling tidak bisa dipastikan adalah masa depan, maka orang menyusun upaya sedemikian rupa untuk mengurangi kekuatiran akan masa depan dengan berbagai rencana investasi. Sampai-sampai karena kuatir dan cemas itu, banyak orang menjadi tidak bisa membedakan antara tujuan dan sarana hidup, tidak ada rasa puas dan syukur. Orang menjadi jauh untuk merayakan hidup itu sendiri, sesuatu yang pantas disyukuri.

Menghitung hari dapat membuat kita menjalani hidup dengan lebih bijaksana, paling tidak sadar untuk sejenak. Kita masing dapat mengingat bahwa jabatan, popularitas, harta, pekerjaan, dan kesehatan yang dapat berlalu. Kita menjadi tidak lagi menggantungkan diri pada semua itu, minimal kita tidak akan setres karena kelekatan duniawi. St Ignatius dalam Latihan Rohani menulis: “Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan. Karena itu, manusia harus mempergunakannya, sejauh menolong untuk mencapai tujuan tadi dan harus melepaskan diri dari barang-barang tersebut, sejauh itu merintangi dirinya”.

Yang lain adalah mengingat orang-orang yang ada disekitar kita : anak, istri, suami, orang tua, teman, akan berlalu. Maka mereka pantas untuk kita hargai. Sebab kalau sudah tidak ada, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian mengingat waktu yang kita punya akan berlalu, maka tidak perlu menunda-nunda lagi. Hidup kita akan berlalu, cepat atau lambat, tetapi itu tidak terlalu penting. Karena yang lebih penting adalah bagaimana kita menjalani hidup ini. Apa yang ingin dikenang orang kepada kita?

Kebudayaan cina menjunjung tinggi umur panjang sebagai ukuran kebahagiaan. Lambangnya adalah pohon pinus, biasa hidup di pegunungan, umurnya dapat mencapai empat ratus tahun. Sebab itu sebagai lambang umur panjang, pohon pinus sering muncul dalam lukisan cina. Kaisar Qin Shi Huangdi membentuk tim untuk meneliti dampak kimiawi pelbagai mineral untuk memperpanjang umur. Pelbagai tanaman dan ramuan diteliti khasiatnya, jenis-jenis senam dan jurus dikembangkan.

Demikian pula meditasi dilihat sebagai upaya memperpanjang umur, dimana orang mencari keheningan, ketenangan, berdamai dengan diri sendiri, orang lain, dan alam. Sebuah papatah Cina berkata “Gaya hidup kura-kura, tidak gundah atau marah, tidak bertingkah atau serakah, hidupnya seratus tahun”. Pohon pinus yang tua memberi pengayoman dan perlindungan yang lebih teduh. Awet hidup menjadi baik dan bijak, adalah hati penuh damai yang dapat membayar semua.


Mendaki Puncak

Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan. Manarik sekali kalau kita mencermati ungkapan ini. Benar kalau dikatakan dengan berjalannya waktu, akan semakin tua usia, namun belum tentu yang tua itu orang yang dewasa. Kalau orang ingin dewasa, itu adalah pilihan hidup dan harus ada usaha yang dilakukan untuk itu. Salah satu ciri orang yang dewasa adalah hidupnya penuh hikmat dan kebijaksanaan. Maka kita minta kepada pemberi waktu supaya dimampukan untuk menghitung hari-hari yang kita lalui agar dapat memperoleh hati yang bijaksana. Menghitung hari bukanlah menghitung secara harafiah, tetapi berusaha membuat hari-hari yang kita lalui bermakna dan belajar tentang hidup. Kita harus berubah dari waktu ke waktu.

Hidup ini indah, terutama jika kita mengetahui posisi dimana kita berada. Sayang kita tidak selalu bisa melihat rencana pemilik hidup di balik peristiwa dalam hidup kita, terutama kalau menyakitkan dan sulit kita terima. Kita cenderung melarikan diri, mengelak dari permasalahan, dan akhirnya mencari kambing hitam. Oleh karena itu, ketika sukacita mewarnai hari-hari kita, janganlah kita berpuas hati, lalu kita menjadi lupa diri, egois, lepas akan kodrat kita sendiri.

Dalam hal hidup rohani, St Ignatius mengungkapkan bahwa, dalam diri kita ada tiga kekuatan yang mempengaruhi pemikiran dan cara bertindak, yaitu: kodrat kita sendiri, roh baik, dan roh jahat. Oleh karenanya, untuk mengambil keputusan yang tepat, tidaklah cukup hanya sadar dengan tujuan hidup kita, tetapi juga perlu membedakan macam-macam gerakan roh.

Paul G. Stoltz seorang pendaki, dalam bukunya Adversity Quontients mengatakan bahwa tak semua pendaki mampu menaklukkan puncak gunung sebab pendakian harus melalui proses panjang. Ada tiga karakter utama para pendaki: pertama, Quitters, yaitu pendaki yang langsung mengurungkan niatnya setelah mendengar atau melihat sendiri keadaan yang akan dilalui. Kedua, champers, yaitu pendaki yang tidak melanjutkan ke puncak, karena sudah mendapatkan tempat yang indah sebelum ia mencapai puncak. Ketiga, cruisers, yaitu para pendaki yang bertekad bulat manaklukkan puncak gunung.

Ibarat puncak gunung adalah tantangan hidup, maka karakter orang juga ada tiga, yaitu: mundur dan lari menjauh dari lintasan, mogok tengah jalan, atau maju terus. Dengan Feeling yang terwujud dalam pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan, dan semangat (spiritualitas) semoga dapat menjadi sarana meneruskan kembali langkah mencapai “puncak gunung” dalam hidup kita masing-masing.

*) Artikel ini bisa anda baca pada rubrik Jendela, majalah Bianglala, edisi 048/THVIII/MEI 2009